Beginilah Kami Diajari Ulama Hadits bag 2
![]() |
Sumber : http://www.islam4africa.net/ |
Oleh : Ustadz Budi
Ashari, Lc
Mereka yang belajar
ilmu Jarh wa At Ta’dil pasti mendapati bab sangat penting ini. Para ulama
hadits berbeda pendapat cukup tajam dalam hal ini. Judulnya: Apakah riwayat
dari ahli bid’ah bisa diterima?
Maaf sekali lagi.
Izinkan saya (terpaksa) harus bercerita kenangan saya saat berguru sebagai
salah satu siswa di Fak. Hadits di Univ. Islam Madinah.
Cukup mendalam kesan
saya tentang bab ini saat kami diajar di kelas tentang bab ini. Entah mengapa.
Yang jelas begitu tajamnya perbedaan pendapat ulama hadits. Bid’ah yang
pelakunya tidak kafir, ulama mempunyai beberapa pendapat. Ada yang menolaknya
mentah-mentah tanpa ampun. Ada yang menerima dengan syarat tidak menghalalkan
dusta untuk membela keyakinan bid’ahnya dan kelompoknya. Ada yang mengatakan
riwayat ahli bid’ah yang posisinya sebagai da’i/ulama, mereka ditolak, adapun
yang bukan bisa diterima (di dalam pendapat ini pun masih ada perbedaan lagi
dan disebutkan bahwa ini sebagai madzhab yang diikuti oleh kebanyakan ulama).
Ada juga yang
membedakan dari jenis bid’ahnya.
Di kelas kami
menggunakan kitab ( ﺿﻮﺍﺑﻂ ﺍﻟﺠﺮﺡ ﻭﺍﻟﺘﻌﺪﻳﻞ ) karya Syekh DR. Abdul Aziz Al Abdul
Latif rahimahullah. Saat itu, beliau sudah tidak bisa mengajar kami karena
sakit hingga beliau meninggal. Dalam buku tersebut dipaparkan dengan detail,
tanpa penulis memperjelas pendapat mana yang dipilihnya. Begitu kuatnya dalil
setiap ulama. Tapi penulis dan syekh kami yang mengajar pelajaran ini
DR. Anis Thohir pun
–seingat saya- cenderung mengatakan riwayat ahli bid’ah bisa diterima dengan
syarat-syarat.
Yang pasti, pendapat
kebanyakan ulama adalah menerima riwayat ahli bid’ah dengan syarat yang
berbeda-beda. Dikarenakan ulama hadits dalam kitab-kitab mereka mencantumkan
riwayat para ahli bid’ah.
Al Hafidz Adz Dzahabi
dalam Siyar A’lam An Nubala’ menukil dari Al Hafidz Muhammad bin Al Barqi yang
berkata: Aku bertanya kepada Yahya bin Main: Bagaimana dengan orang yang
tertuduh berkeyakinan salah dalam masalah taqdir apakah ditulis haditsnya?
Yahya menjawab: Ya, Qotadah, Hisyam Ad Dustuwai, Said bin Abi Arubah, Abdul
Warits –dan menyebut nama-nama lain- berkeyakinan seperti itu, mereka tsiqoh,
boleh ditulis hadits mereka sepanjang mereka tidak menjadi dainya.
Adz Dzahabi juga
menyampaikan penilaiannya kepada salah seorang perawi: Aban bin Taghlib Al Kufi
orang syiah tulen tapi dia shoduq (benar dan jujur dalam periwayatannya),
kejujurannya untuk kita dan dosa bid’ahnya untuk dia.
Tapi syarat dai atau
bukan dai bid'ah pun diragukan dengan apa yang dilakukan Imam Bukhari dalam
Mutaba’ah di kitab Shahihnya. Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Ikhtishor ‘Ulum
Al Hadits menjelaskan:
Al Bukhari mengeluarkan
riwayat Imron bin Hiththon, seorang khowarij yang memuji Abdurrahman bin Muljam
pembunuh Ali radhiallahu anhu dan dia ini salah seorang dai terbesar dalam
keyakinan khowarij.
Lebih dari itu, Imron
bin Hiththon diambil riwayatnya oleh Yahya bin Abi Katsir (sebagaimana yang
dicantumkan oleh Al Bukhari) di Yamamah saat Imron melarikan diri dari Hajjaj
bin Yusuf yang mengejarnya untuk membunuhnya karena Imron adalah dainya
khowarij. (Lihat Hadyus Sari, Ibnu Hajar)
Dan masih banyak lagi
yang lain. Bahkan perlu dicermati bid’ah yang dibahas di atas bukan sekadar
bid’ah ibadah, tapi sudah bid’ah aqidah. Tapi segitu obyektifnya para ulama
hadits!!
Saya juga tahu –jangan
salah paham- bahwa ilmu diawali dari belajar dari seorang ahli ilmu. Tetapi
jika telah mengaji sekian lama, ilmu pun sudah mampu menjadi penyaring.
Teladanilah para ahli ilmu yang mengambil riwayat dan ilmu mereka bahkan dari
ahli bid’ah.
Begitulah...
Siapapun yang pernah
berlama-lama dalam ilmu hadits seharusnya mengalir deras dalam dirinya ruh ini.
Seimbangkan kedua hal di atas.
Jadi, mengapa
menyempitkan ilmu hanya di lingkaran orang-orang tertentu. Mengapa membatasi
gerak murid-murid kita yang telah kuat ilmunya untuk duduk di majlis ahli ilmu
hanya gara-gara ahli ilmu itu distempel ahli bid’ah. Yang bid’ahnya bukan dalam
masalah aqidah atau bahkan memang bukan bid’ah tapi hanya perbedaan fikih
biasa.
Saya semakin paham yang
menyempitkan sesuatu yang luas adalah taqlid buta dan fanatisme golongan.
Padahal ulama hadits
begitu obyektifnya.
Begitulah hari-hari
kami bersama para masyayikh di ilmu hadits. Hafidzohumulloh......
Belum ada Komentar untuk "Beginilah Kami Diajari Ulama Hadits bag 2"
Posting Komentar